PERSATUAN
INSINYUR INDONESIA
Persatuan Insinyur Indonesia atau
disingkat PII (dalam bahasa Inggris The Institution of Engineers Indonesia –
IEI) adalah organisasi profesi yang didirikan di Kota Bandung pada tanggal 23
Mei 1952 untuk menghimpun para insinyur, termasuk sarjana teknik dan sarjana
sains yang bekerja di bidang keteknikan di seluruh Indonesia.
Sejarah
Sejarah Persatuan Insinyur Indonesia
(PII) dimulai pada tanggal 23 Mei 1952 ketika Ir. H. Djoeanda Kartawidjaja dan
Prof. Ir. R. Roosseno Soerjohadikoesoemo berkumpul bersama kawan-kawannya sesama
insinyur Indonesia di Aula Barat, Fakultas Teknik Universitas Indonesia Bandung
(sekarang menjadi ITB) di Jl. Ganesha 10, Bandung. Pada saat itu jumlah
insinyur Indonesia baru sekitar 75 orang. Sementara tanggung jawab yang harus
dipikul sangat besar. Untuk itu disepakati untuk membuat Persatuan Insinyur
Indonesia dengan tujuan untuk mempererat kerja sama para insinyur agar dapat
menjadi kekuatan yang nyata untuk membangun negara dan bangsa Indonesia. Pada
tahun 1957, PII juga menjadi salah satu motor utama berdirinya Institut
Teknologi Bandung (ITB). PII adalah organisasi profesi tertua kedua di
Indonesia setelah IDI.
Dalam
sejarahnya PII telah banyak menelurkan cendekiawan-cendekiawan dan
profesional-profesional yang memegang peranan penting di tanah air kita dalam
beberapa dekade ini. PII di dalam menjalankan proses kaderisasi insinyur
melalui continuous development program (CPD) yang isi programnya selain
berisikan pengetahuan keinsinyuran (sains dan teknologi) juga menitikberatkan
pada pengenalan dan pemantapan pembahasan mengenai ‘etika profesi Insinyur’.
Sarjana Teknik diharapkan setelah menjadi Anggota PII diwajibkan memegang teguh
etika profesi keinsinyuran yang dituliskan dalam Kode Etik Insinyur Indonesia,
Catur Karsa Sapta Dharma Insinyur Indonesia*.
Catur
karsa adalah 4 prinsip dasar yang wajib dimiliki oleh Insinyur Indonesia antara
lain:
(1)
mengutamakan keluhuran budi
(2)
menggunakan pengetahuan dan kemampuannya untuk kepentingan kesejahteraan umat
manusia, (3) bekerja secara sungguh-sungguh untuk kepentingan masyarakat sesuai
dengan tugas dan tanggung jawabnya dan
(4)
meningkatkan kompetensi dan martabat berdasarkan keahlian profesional
keinsinyuran.
4
prinsip dasar ini menyimpulkan Insinyur Indonesia dituntut menjadi insan yang
memiliki integritas (budi pekerti luhur) dan semata-mata bekerja mendahulukan
kepentingan masyarakat dan umat manusia dari kepentingan pribadi dengan
senantiasa mengembangkan kompetensi dan keahlian
engineeringnya.
Sapta
Dharma adalah 7 tuntunan sikap dan perilaku Insinyur yang merupakan
pengejawantahan dari catur karsa tadi antara lain:
(1)
mengutamakan keselamatan, kesehatan dan kesejahteraan masyarakat,
(2)
bekerja sesuai dengan kompetensinya,
(3)
hanya menyatakan pendapat yang dapat dipertanggungjawabkan,
(4)
menghindari pertentangan kepentingan dalam tanggung jawab tugasnya,
(5)
membangun reputasi profesi berdasarkan kemampuan masing-masing,
(6)
memegang teguh kehormatan dan martabat profesi dan
(7)
mengembangkan kemampuan profesional.
Apabila
kita baca lagi lebih seksama, sapta dharma substansinya adalah sama dan seiring
dengan catur karsa, bahwa Insinyur Indonesia dituntut untuk memegang teguh
etika dan integritas di dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya di mana
pun dia bekerja sehingga dia bisa tetap mempertahankan reputasi profesinya dari
waktu ke waktu. Substansi utama kode etik Insinyur menurut saya tidak lain
adalah etika dan integritas. Apa pun yang Insinyur lakukan entah itu dalam
rangka pengembangan kompetensi keinsinyuran atau pun dalam rangka membangun
hasil karya keinsinyuran tetap saja selalu mengacu pada prinsip etika dan
integritas.
Salah
satu tuntunan sikap dan perilaku Insinyur yakni membangun reputasi profesi
berdasarkan kemampuan masing-masing. Beberapa uraian dari sikap dan perilaku
ini adalah antara lain: memprakarsai pemberantasan praktek-praktek kecurangan
dan penipuan; tidak menawarkan, memberi, meminta atau menerima segala macam
bentuk perlakuan yang menyalahi ketentuan dan prosedur yang berlaku, baik dalam
rangka mendapatkan kontrak atau untuk mempengaruhi proses evaluasi penyelesaian
pekerjaan. Dua uraian ini memaparkan betapa perlunya seorang Insinyur di dalam
menjalankan praktek-praktek keinsinyuran mengikuti etika dan aturan hukum yang
berlaku, on how the engineers should act. Insinyur dituntut untuk tidak tergoda
dengan segala bentuk penyuapan atau gratifikasi atau bribe dalam istilah
Inggris. Bahkan Insinyur dituntut untuk memkampanyekan anti-kecurangan,
anti-penipuan termasuk anti-penyuapan dan berbagai bentuk korupsi dalam ruang
lingkup organisasi di mana dia berada, ruang lingkup masyarakat,
bangsa dan negara bahkan dalam ruang lingkup proyek-proyek internasional yang
melibatkan banyak negara.
Kode
etik profesi keinsinyuran yang dikeluarkan oleh Persatuan
Insinyur Indonesia adalah sangat relevan dengan cita-cita Pancasila
dan UUD 1945, seiring sejalan dengan program-program yang dicanangkan oleh
lembaga -lembaga anti-korupsi di dalam mengurangi bahkan memberantas
praktek-praktek korupsi di bumi nusantara. Korupsi, suap dan segala bentuk
lainnya bukan hanya mengganggu keberlanjutan pembangunan nasional Indonesia
tetapi juga bisa menjadi contoh buruk dan tidak terpuji yang akan kita tularkan
ke generasi penerus selanjutnya, sehingga menjadi tugas kita bersama, korupsi dan
segala bentuknya ini harus diberantas dan dibumihanguskan dari tanah air
tercinta. Kode etik Insinyur ini memang hanya berlaku untuk Insinyur Indonesia
saja tetapi apabila semua anggota Persatuan Insinyur Indonesia (PII) yang
selanjutnya diberi gelar sebagai Insinyur bisa memberikan keteladanan kepada
profesi-profesi lainnya di Indonesia saya yakin ini bisa menjadi preseden
positif di dalam menggiring bangsa ini menuju bangsa yang lebih sejahtera dan
bermartabat.
Tahun
2011 lalu Pemerintah mencanangkan program MP3EI dengan tujuan mempercepat dan
memperluas pembangunan ekonomi melalui pengembangan delapan (8) program utama
meliputi sektor industri manufaktur, pertambangan, pertanian, kelautan,
pariwisata, telekomunikasi, energi dan pengembangan kawasan strategis nasional.
Target yang ingin diraih bukanlah main-main. Tahun 2011 PDB kita US$846 miliar
dengan PDB per kapita US$3.495 dan menjadikan Indonesia peringkat ke-16 dunia,
maka pada 2025 PDB Indonesia diperkirakan akan mencapai US$4.000 miliar dengan
PDB per kapita US$14.250 dan berada di peringkat ke-11 dunia. Prediksi yang
lebih jauh lagi pada 2045, saat 100 tahun kemerdekaan Indonesia, PDB
ditargetkan akan mencapai US$15.000 atau berada di peringkat ke-6 dunia dengan
PDB per kapita US$44.500. Untuk mengarah kesana ada beberapa hal yang bisa
menjadi pendorong percepatan, yakni: (1) investasi berbagai kegiatan ekonomi di
6 koridor ekonomi: Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali-Nusa Tenggara dan
Papua-Kepulauan Maluku, semuanya senilai Rp2.226 triliun; (2) konektivitas yang
sejatinya adalah pelengkapan infrastruktur senilai Rp1.786 triliun; dan (3)
penyiapan SDM nasional dan penguasaan Iptek.
Sebelum berbicara
mengenai sertifikasi, sepertinya saya perlu membeberkan hasil investigasi saya
mengenai perbedaan antara Insinyur dan Sarjana Teknik. Semuanya ini diawali
dengan diselenggarakannya Program Pengembangan dan Pembinaan
Keprofesionalan Indonesia oleh PII (Persatuan Insinyur
Indonesia). Tujuan program itu ada dua :
1. Sebutan
(gelar) profesi baru : Insinyur
2. Sertifikat keprofesionalan
baru : Insinyur Profesional
Anda pasti
bertanya-tanya, mengapa Insinyur disebut sebagai profesi baru? Memang seperti
yang kita ketahui semua bahwa gelar Insinyur sudah ada sejak negeri ini
merdeka, dimana gelar ini diberikan kepada mahasiswa teknik yang sudah
menyelesaikan pendidikan tekniknya. Sejak S.T menggantikan peran Ir., di tahun
1993, praktis gelar insinyur seolah-olah ‘hilang’ karena penyebutan insinyur
sudah tidak berlaku lagi. Namun masyarakat awam dan mayoritas lulusan
jurusan teknik tahun 1993 sampai sekarang tetap mengganggap bahwa semua
penyandang S.T memiliki nama lain yang disebut insinyur. PII menganggap mindset
seperti ini salah. Sarjana Teknik tidak bisa disebut sebagai Insinyur. Why?
Di Indonesia, ada
perbedaan antara gelar akademis dan gelar profesi :
- Gelar Akademis :
gelar yang diperoleh setelah menyelesaikan pendidikan akademis, misalnya
Sarjana Hukum (SH), Sarjana Farmasi (SF), yang lazim disebut gelar S-1
serta gelar akademis lanjutan seperti S-2 (Magister) dan S-3 (Doktor) yang
menunjukkan tingkat kemampuan akademis dan penelitian
- Gelar Profesi :
misalnya Pengacara, Apoteker, Dokter, Notaris, Jaksa, Hakim atau Akuntan, yaitu
sebutan bagi para penyandang gelar akademis yang telah mempraktekkan hasil
pendidikan akademisnya itu sebagai profesinya sehari-hari dan mendapatkan
pengakuan/sertifikasi keprofesian dari badan profesi tersebut.
Berdasarkan ketentuan
Pemerintah, penetapan suatu profesi dilakukan oleh Menteri Pendidikan cq.
Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi berdasarkan rekomendasi Organisasi Profesi.
Nah, PII sebagai wadah penyatu para Sarjana Teknik dan Sarjana Pertanian,
meluncurkan sebutan profesi Insinyur bagi para anggotanya.
Nantinya sebutan profesi Insinyur ini akan disingkat Ir., dan
dicantumkan oleh penyandangnya di depan nama, sama persis seperti ‘insinyur’
lulusan PT tahun 40-80an. Pemberian gelar Insinyur ini tidak
mudah. Anda diharuskan mengikuti Program Profesi yang memberi mereka kemampuan
lebih teknis dan detail untuk memasuki profesi engineering yang sebelumnya
tidak diperolehnya di pendidikan akademisnya.
Langkah selanjutnya,
PII memberikan pula sertifikat keprofesionalan Insinyur Profesional
(IP) yang disertifikasikan kepada penyandang sebutan profesi Insinyur.
Sertifikasi keprofesionalan IP ini dapat dicantumkan di belakang nama
penyandang. Sertifikasi keprofesionalan IP mempunyai 3 jenjang yang terdiri
dari Insinyur Profesional Pratama (IPP), Insinyur Profesional Madya
(IPM) dan Insinyur Profesional Utama.
Untuk mendapatkan
sertifikasi IP, syarat dan ketentuan berlaku. Ketentuan lengkapnya dan
penjabaran lebih lanjut mengenai jenjang IP tidak akan saya bahas disini.
Teman-teman dapat melihat di situs resmi PII : pii.or.id. Dan perlu kita
ketahui bersama bahwa Sertifikat professional IP ini berbeda dengan berbagai
sertifikat keahlian yang biasanya dikeluarkan oleh berbagai asosiasi profesi
insinyur spesialis baik dalam dan luar negeri, untuk program pelatihan
spesialisasi.
Melihat proses
tersebut, bisa dikatakan bahwa jalan untuk mendapatkan gelar dan pengakuan
profesi Insinyur cukup rumit. Bayangkan, pasca mendapatkan gelar akademis S.T,
kita harus bergabung dengan PII dan harus mengikuti Program Profesi mereka
untuk mendapatkan gelar profesi Insinyur dan setelah itu harus
berjuang untuk mendapatkan Sertifikat Keprofesionalan Insinyur
Profesional. Ada beberapa latar belakang utama bagi PII mengapa mereka
meluncurkan sebutan profesi Ir., dan sertifikasi keprofesionalan IP.
Yang pertama adalah
tentang gelar Insinyur. Dalam kurun waktu 40-50 tahun terakhir, dalam ijazah
tamatan Perguruan Tinggi jurusan Teknik dan Pertanian tidak disebutkan adanya
gelar profesi Insinyur sehingga Ir., pada jaman itu adalah gelar kesarjanaan
akademis yang ‘liar’ dan ‘ambigu’. Jika ada pihak yang kurang sepakat dengan
pendapat seperti itu dan mengatakan bahwa Ir., adalah suatu sebutan profesi,
maka Ir., merupakan sebutan profesi yang sangat heterogen karena belum pernah
ditetapkan kualifikasinya.
Orang pada jaman itu
bisa saja mengaku berprofesi sebagai Insinyur, entah mesin, sipil, kimia,
computer, pertanian, kehutanan, peternakan, perminyakan, dll. Situasi seperti
ini sangat mirip dengan gelar doktorandus. Coba bandingkan dengan sebutan
profesi lain seperti Akuntan, Dokter, Notaris, Apoteker, Hakim, dll, sebutan
profesi Insinyur sangat jauh tertinggal dalam hal keabsahan statusnya,
klasifikasinya, tanggungjawab perdatanya (legal liability) dan proteksi
keprofesiannya.
Di dunia
internasional, sebutan Ir., Indonesia belum memiliki kesetaraan dengan Negara
lain. Beberapa negara di ASEAN, Australia dan Selandia Baru telah mempunyai
sebutan profesi keinsinyuran yang jelas keabsahannya serta saling diakui antara
satu Negara dengan Negara lainnya. Kesimpulannya, gelar Ir., era orde lama dan
orde baru benar-benar merupakan murni gelar sarjana akademik. BUKAN gelar
profesi.
Dari sisi historis,
PII telah lama tumbuh sebagai ‘ormas’, bukan sebagai badan organisasi
keprofesian. Di masa lalu, semua lulusan Perguruan Tinggi jurusan Teknik
langsung menjadi anggota PII. Selain itu, kegiatan-kegiatan PII lebih bersifat
paguyuban seperti olahraga, halal-bihalal, peringatan HUT dan semacamnya.
Kegiatan pembinaan keprofesian sangat minim dilakukan. Sejak perubahan gelar
sarjana keteknikan dari Ir., menjadi S.T, kondisi dunia keinsinyuran semakin
tidak jelas lagi.
Tingkat
profesionalisme para Insinyur Indonesia yang rendah dan era persaingan global
yang semakin ketat membuat perlu adanya lembaga khusus di bidang keinsiyuran
yang mapan dan terstruktur untuk melaksanakan kegiatan rekrutmen, sertifikasi
dan kaderisasi keprofesian sesuai bidang masing-masing. Jika lembaga mapan
seperti ini mampu meningkatkan keprofesionalan para Insinyur Indonesia, bisa
dipastikan bahwa kinerja Insinyur kita semakin baik. Ciri-ciri seorang Insinyur
professional adalah tanggungjawabnya yang penuh akan hasil karyanya sehingga
jika dikemudian hari proyek atau produk buatannya mengalami kerusakan dan
kesalahan, dia siap bertanggung jawab secara perdata. Di lain pihak,
keprofesionalan insinyur juga memberikan kemudahan baginya dalam hal finansial
dan jaminan hari tua.
Latar belakang seperti
itulah yang membuat PII mengubah orientasi kegiatan dan arah gerak organisasi.
Adanya sertifikasi dan system yang mengatur keprofesian serta program-program
penunjang ketrampilan insinyur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar